Sabtu, 01 Juni 2019

Sejarah Budaya Peranakan Indonesia - Tionghoa

Baba - Nyonya
Cina Peranakan Era Dynasti Ching Circa Last 1800
Foto Koleksi Pribadi

Dinasti Ming runtuh pada tahun 1644 dan digantikan dengan berdirinya Dinasti Qing (Ching). Pada masa Dinasti Qing (Ching) ini perdagangan Tiongkok dengan Asia Tenggara dibuka. Hal ini mendorong lahirnya para imigran terutama dari propinsi Hokkian/Fujian (sekitar Amoy/Xiamen) dan Kwantung/Guangdong (sekitar Macau dan Canton/Guangzhou). Dari sinilah, orang Tionghoa menyebar ke berbagai negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia.

Orang Tionghoa datang ke Indonesia sebelum orang Belanda. Sebelum kedatangan Belanda, orang Tionghoa sudah hidup dengan damai di Indonesia. Mata pencaharian mereka adalah berdagang, bertani dan menjadi tukang. Hampir semua orang Tionghoa tidak membawa istrinya saat hijrah ke Indonesia. Pada saat itu memang orang Tionghoa dilarang membawa istrinya, karena seorang perempuan dilarang keluar dari Tiongkok.


Kaum Bangsawan Cina Peranakan
Oey Tek Fong
Pemilik Sun Liong N. V.
Distributor Motor Royal Enfield
Foto Kokeksi Pribadi


 
Kaum Bangsawan Cina Peranakan
Kapitan Gouw Kian Djian Family
Foto Koleksi Pribadi

Singkat cerita mereka orang Tionghoa di Indonesia ahirnya menikahi sejumlah perempuan Indonesia yang kemudian membuahkan benih seorang peranakan Indonesia-Tionghoa. Pesta pernikahan dua bangsa ini biasanya diadakan secara meriah dan mahal dengan adat istiadat dan kebiasaan bangsa Tionghoa.

Orang Tionghoa ini tetap bermukim di Indonesia sampai beberapa keterunan tanpa kembali kenegeri asal mereka. Mereka pun membaur dengan budaya, bahasa, busana, makanan dan agama di  Indonesia. Mereka ada yang memeluk agama Islam dan menjalankan adat istiadat penduduk asli.


Keluarga Cina Peranakan Timur Asing
(Arab, India, Pakistan, dan Tionghoa)
Foto Koleksi Pribadi

Kurang lebih ada 5000 orang Tionghoa datang ke Batavia. Pada tahun 1683, dan jumlah orang Tionghoa berkembang pesat di Pulau Jawa. Jumlah penduduk orang Tionghoa kemudian mencapai lebih dari 100.000 orang pada permulaan abad ke-19. Mereka hidup menyebar keseluruh pelosok Pulau Jawa, ke daerah pedalaman dan disepanjang pesisir utara.

Selama tinggal di tanah Indonesia, orang Tionghoa dikenal rajin dan pintar mencari uang, apalagi dibidang perdagangan. Tanpa adanya orang Tionghoa, Pulau Jawa bukan koloni yang menguntungkan. Semua industri, penyulingan alkohol, dan pembuatan alat rumah tangga semua adalah hasil dari tangan orang Tionghoa.



Keluarga Cina Peranakan Jawa-Tionghoa
Foto Koleksi Pribadi

Orang Tionghoa yang sudah lama tinggal di Indonesia sangat dekat dengan raja-raja dan kraton Jawa. Banyak juga yang diberi gelar bangsawan oleh raja Jawa dan dinikahkan dengan puteri kraton. Atau sebaliknya, banyak juga putri dari orang Tionghoa yang dijadikan selir oleh raja-raja Jawa. Di antaranya Putri Cina yang dijadikan istri Sunan Gunung Jati dari Cirebon. Perkawinan silang budaya, etnis, Negara ini pun membuahkan keturunan.

Fakta sejarah lainnya, banyak orang menganggap bahwa peranakan hanya berarti keturunan anak negeri dengan orang asing. Komunitas pernakan Tionghoa menganggap pemahaman tersebut sudah ketinggalan zaman.


Baba - Nyonya 
Cina Peranakan Depok Semarang Circa 1923
Foto Koleksi Pribadi


Keluarga Cina Peranakan
Era Kolonial Belanda
Foto Koleksi Pribadi

Peranakan saat ini bukan lagi karena darah, melainkan karena budaya. Budaya peranakan adalah budaya unik yang ada di Nusantara. Ini adalah hasil dari akulturasi atau pencampuran budaya Tiongkok, budaya lokal Nusantara, dan budaya Eropa.

Seiring dengan penjajahan Belanda di Nusantara, perkembangan peranakan Tionghoa juga dipengaruhi budaya dari Eropa. Sehingga akhirnya menghasilkan budaya peranakan yang sangat eksotis dan unik. Budaya peranakan itu masih bertahan hingga kini dan mencakup banyak hal mulai dari kuliner, busana, tradisi, hingga arsitektur.


Keluarga Cina Peranakan
Era Kolonial Belanda di Batavia
Foto Koleksi Pribadi

Baba - Nyonya Cina Peranakan
Era Kolonial Belanda di Tjimahi
Foto Koleksi Pribadi


Budaya peranakan Tionghoa di Indonesia berbeda dengan leluhur di China daratan. Tetapi peranakan Tionghoa di Indonesia masih mengikuti kepercayaan yang sama dengan leluhur. Untuk budaya misalnya seperti pada perayaan besar Imlek atau Cap Go Meh, masyarakat peranakan Tionghoa di Indonesia makan dengan makanan perayaan yang berbeda dengan di China. Mereka makan lontong Cap Go Meh dimana itu adalah budaya kuliner yang tidak sama dengan yang ada di China. Makanan tersebut adalah khas Nusantara.

Bukti lain peleburan budaya peranakan Tionghoa adalah keberadaan budaya encim. Kebaya tersebut muncul karena ada sentuhan kebaya local yang dipengaruhi Tiongkok dan Eropa. Dari kebaya encim, unsur China dapat terlihat dengan keberadaan bunga peony yang berasal dari Negara Tirai Bambu. Sedangkan unsur Eropa terlihat dari pemilihan putih sebagai warna umum kebaya encim, ini bertentangan dengan kepercayaan Tionghoa bahwa putih melambangkan kedukaan. Motif khas Tionghoa juga dapat ditemukan pada kain Nusantara, biasanya memiliki warna cerah dengan motif seperti burung hong, naga, dan kura-kura.


Kebaya Encim Cina Peranakan
Foto Koleksi Pribadi


Kebaya Encim Cina Peranakan Circa 1916
Foto Koleksi Pribadi
 
Karena berbaur dengan budaya lokal, budaya peranakan yang ada di Indonesia bisa jadi berbeda satu daerah dengan lainnya. Semua tergantung kondisi geografis dan budaya setempat. Harapannya masyarakat dapat terus tumbuh di masa depan tanpa melupakan budaya luhur lokal yang ada di Indonesia. Sebab bisa jadi yang menyatukan Indonesia adalah budaya-budaya leluhur dan keberagaman Indonesia. Suka tidak suka, budaya itu melekat pada masyarakat dan tergantung kepada masyarakat juga lestari tidaknya budaya itu.


* Informasi ini saya dapatkan dari beberapa sumber berita media yang sudah ada sebelumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar