Foto Sri Sultan Hamengkubuwana VIII & Prajurit Keraton
Foto Sri Sultan Hamengkubuwana VIII ini adalah foto asli bukan repro. Pada foto bagian kanan bawah terdapat nama studio foto dan nama kota masih ejaan lama "Corn Weers - Djocja" (yang membuat foto tersebut).
Saya mendapatkan foto ini sekitar 6 (enam) tahun lalu tepatnya bulan July 2013. Untuk logo lambang Keraton era HB VIII yang terbuat dari bahan perunggu ini saya mendapatkannya sekitar 1 (satu) tahun lalu. Foto memiliki ukuran cukup besar sekitar 26cm x 20cm, dengan frame ukuran sekitar 59cm x 53cm. Khusus untuk frame foto adalah bukan bawaan awal (buatan baru).
Berdasarkan informasi sejarah untuk logo Keraton Jogja yang sekarang ini dirancang pada era HB VIII.
Lambang Kraton Yogyakarta semula bentuk mahkota kerajaan Belanda banyak mempengaruhi unsur hias dalam kraton Yogyakarta dan Surakarta, termasuk diantaranya untuk mahkota raja. Sampai pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana VII lambang mahkota tersebut masih banyak diterapkan sebagai unsur hias.
Selain unsur mahkota yang tampak sangat presisi, munculnya binatang singa di kiri dan kanan mahkota menunjukkan getaran estetik yang bernuansa Eropa sangatlah kental. Jika dibandingkan dengan lambang Kerajaan Belanda, lambang yang dipakai Sri Sultan Hamengku Buwana VII memiliki kemiripan. Pada Sri Sultan Hamengku Buwono VII bentuk itupun masih tertera di atas bingkai gambar yang berukuran besar. Huruf dan angka dibingkai sulur-sulur indah, di atasnya terdapat mahkota lambang kerajaan.
Namun pada masa pemerintahan Sri Hamengku Buwono VIII pada tahun 1921 ada keinginan untuk membuat lambang keraton berlandaskan cita rasa estetik dengan mengangkat seni budaya sendiri. Lambang ini bentuknya berbeda dengan sebelumnya, tidak terpengaruh oleh bentuk mahkota gaya seni Eropa. Dalam hal ini Sri Sultan Hamengkubuwono VIII dapat disebut sebagai pencipta lambang kraton yang saat ini dipakai.
Dalam lambang kraton ini Ha Ba disertai unsur bunga teratai di atas Pa murda. Bunga teratai itu melambangkan kiblat papat kelima pancer dilengkapi dengan sepasang tangkai daun yang disebut lajer, yang menggambarkan harapan yang tulus bagi pelestarian Kraton dan Sultan, agar berlangsung terus menerus dan penuh wibawa.
Lambang kraton ini terdapat di beberapa tempat diantaranya di sisi luar kuncungan Bangsal Manis bagian timur dan pintu gerbang Donopertopo, tepatnya di atas jam besar di sebelah barat masjid Tamanan perempatan Rotowijayan sebelum masuk Keben (Ngejaman). Selain digunakan sebagai unsur hias beberapa banguanan, lambang keprajan ini juga dipakai sebagai kop surat dan medali penghargaan.
Secara keseluruhan lambang kraton ini merupakan sengkalan memet yang berbunyi Kaluwihaning-Yaksa-Salira-Aji yang bermakna tahun 1851: Kaluwihaning berbentuk ukiran daun kluwih bermakna 1, yaksa atau kemamang bermakna 5, salira berupa binatang melata atau ular naga bermakna 8, aji lambang raja Ha Ba didalam lingkaran bola dunia bermakna 1.Artinya 1851 merupakan tahun saka atau 1921 masehi.
Sumber informasi : https://blog.ullensentalu.com/lambang-kraton-yogyakarta/
Sri Sultan Hamengkubuwana VIII (lahir di Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, 3 Maret1880 – meninggal di Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat, 22 Oktober 1939 pada umur 59 tahun) adalah salah seorang raja di Kesultanan Yogyakarta tahun 1921-1939. Ia bernama asli Gusti Raden Mas Sujadi. Dinobatkan menjadi Sultan Yogyakarta tanggal 8 Februari 1921.
Pada masa Hamengkubuwono VIII, Kesultanan Yogyakarta mempunyai banyak dana yang dipakai untuk berbagai kegiatan termasuk membiayai sekolah-sekolah kesultanan. Putra-putra Hamengkubuwono VIII banyak disekolahkan hingga perguruan tinggi, banyak diantaranya di Belanda. Salah satunya adalah GRM Dorojatun, yang kelak bertahta dengan gelar Hamengkubuwono IX, yang bersekolah di Universitas Leiden.
Pada masa pemerintahannya, ia banyak mengadakan rehabilitasi bangunan kompleks keraton Yogyakarta. Salah satunya adalah Bangsal Pagelaran yang terletak di paling depan sendiri (berada tepat di selatan Alun-alun utara Yogyakarta). Bangunan lainnya yang direhabilitasi adalah tratag Siti Hinggil, Gerbang Donopratopo, dan Masjid Gedhe. Ia juga merupakan salah satu orang pertama dari kalangan politikus papan atas Kota Yogyakarta yang mendukung perjuangan Kh. Ahmad Dahlan dalam pembentukan Muhammadiyah sebagai bentuk loyalitasnya pada Islam.
Ia meninggal pada tanggal 22 Oktober 1939 di kereta api di daerah Wates, Kulon Progo dalam perjalanan pulang dari Jakarta untuk menjemput GRM Dorojatun dari negeri Belanda. GRM Dorojatun mendadak dipanggil pulang yang belum sempat menyelesaikan sekolahnya. Di Batavia, Sultan menyerahkan keris Kyai Ageng Joko Piturun kepada GRM Dorojatun sebagai tanda suksesi kerajaan, sekaligus sebagai isyarat bahwa GRM Dorojatun-lah yang kelak akan menggantikan sebagai Sultan.
Foto dibawah ini adalah Prajurit Istana yang dikenal dengan nama sebutan Wirabraja. Foto diambil pada tanggal 5 September 1933 dimasa kepemerintahan Sri Sultan Hamangkubuwana VIII. Pada bagian kanan bawah foto terdapat nama fotografer "R. B. PR. Kaswardjo". Saya mendapatkan foto ini dari seorang Jendral Angkatan Darat (Bintang Satu) keturunan Mangkunegara di Jakarta sekitar 2 (dua) tahun lalu.
Untuk mengumpulkan foto HB VIII dan Prajurit Kraton dimasanya, serta mencari logo lambang Kraton era HB VIII ini cukup memakan waktu yang panjang. Sebuah hasil kerja yang tidak sia-sia, dimana dokumentasi ini sarat dengan bukti sejarah Kraton Jogja dan sangat layak untuk menjadi barang koleksi. Bagi saya barang ini tidak saja memiliki nilai sebagai barang untuk dikoleksi tetapi layak juga sebagai barang untuk disimpan dalam museum.
Keterangan : Ex Privat Collection - Sold to Collectors ( Thank to Mr. Novel Sungkar - Semarang )