Total Tayangan Halaman

Kamis, 25 Juli 2019

Foto Antik Sun Yat-sen dan Istri Soong Ching-ling Circa Early 1900




Foto Sun Yat-sen dan Istri Soong Ching-ling Circa Early 1900

Foto ini adalah asli bukan repro. Pengambilan gambar diperkirakan pada awal tahun 1900. Memiliki ukuran foto 13,5cm x 9,5cm belum termasuk matboard, dan ukuran frame 21,5cm x 16,5cm. Pada foto bagian bawah terdapat huruf kanji yang memiliki arti Sun Yat-sen dan Soong Ching-ling.

Berdasarkan informasi sejarah Sun Yat-sen adalah seorang pemimpin kunci revolusi Tiongkok dan diakui secara luas sebagai Bapak Negara Tiongkok Modern, baik di Tiongkok Daratan maupun Taiwan. 

Pada waktu itu, Tiongkok diperintah oleh seorang kaisar yang memerintah seolah-olah seperti dewa. Sun Yat-sen yakin bahwa Tiongkok perlu ditata dengan cara yang baru melalui revolusi. Pada tahun 1895, ia memimpin suatu pemberontakan di Kanton, tetapi dapat diredam. Secara keseluruhan, ia memimpin sebelas kali revolusi terhadap Dinasti Qing dan akhirnya berhasil menumbangkan kekaisaran, sehingga kaisar harus meletakkan jabatannya.

Tiongkok selanjutnya menjadi Republik Tiongkok pada tahun 1911 yang didirikan oleh Sun Yat-sen. Ia juga pendiri partai tertua dalam sejarah modern Tiongkok, Kuomintang (KMT), menjadi pejabat presiden pada tahun 1912, dan presiden pada tahun 1923-1925.

Pada tahun 1925, ia meninggal di Tiongkok. Tiga tahun kemudian, salah seorang pengikutnya, Chiang Kai-shek, terpilih menjadi presiden.

Sumber informasi : https://id.wikipedia.org/wiki/Sun_Yat-sen


Untuk informasi istri Sun Yat-sen adalah sebagai berikut :

Soong Ching-ling adalah istri kedua dari Sun Yat-sen, pemimpin revolusi 1911 yang mendirikan Republik Tiongkok, dan sering disebut sebagai Mme. Sun Yat-sen. Dia adalah anggota dari keluarga Soong, dan bersama-sama dengan saudara-saudaranya memainkan peran penting dalam politik Tiongkok sebelum 1949. 

Setelah berdirinya Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1949, ia memegang beberapa posisi penting dalam pemerintahan baru, dan bepergian ke luar negeri selama tahun 1950-an, mewakili Tiongkok di sejumlah kegiatan internasional. Selama Revolusi Kebudayaan, bagaimanapun, ia banyak dikritik, dalam satu insiden pada tahun 1966, kuburan orangtuanya dihancurkan oleh Pengawal Merah. 

Soong selamat Revolusi Kebudayaan, tetapi kurang sering muncul setelah tahun 1976. Selama sakit terakhirnya Mei 1981, dia diberi gelar khusus Presiden Kehormatan Republik Rakyat Tiongkok. Akibatnya ia menjadi orang pertama yang diketahui dijadikan kepala non-tradisional negara yang merdeka di Asia.

Sumber informasi : https://id.wikipedia.org/wiki/Soong_Ching-ling


Keterangan : Ex Koleksi Pribadi - SOLD OUT

Foto Antik Club CMC Circa 1924








Foto Antik Club CMC Circa 1924

Foto ini adalah asli bukan repro. Memiliki ukuran foto 14cm x 10cm belum termasuk matboard, dan frame 25cm x 20cm. Foto diambil disebuah Studio Foto pada masa era kolonial Belanda. Pada foto tercantum tahun 1924 dan tulisan CMC pada background foto. Kaca pada frame cembung dan kondisi foto serta frame masih baik dan layak koleksi.

Keterangan : SOLD OUT

Foto Studio Antik 3 Anak Naik Pesawat





Foto Studio Antik 3 Anak naik Pesawat

Foto ini adalah asli bukan repro. Memiliki ukuran foto 13,5cm x 9,5cm dan untuk ukuran matboard 21,5cm x 17,5cm. Foto diambil disebuah Studio Foto pada masa era kolonial Belanda. Berdasarkan informasi Studio Foto ini bernama Thio Piek yang berlokasi di kota Buitenzorg (Bogor saat ini).

Keterangan : SOLD OUT

Jumat, 05 Juli 2019

Foto Sri Sultan Hamengkubuwana VIII & Prajurit Keraton













Foto Sri Sultan Hamengkubuwana VIII & Prajurit Keraton

Foto Sri Sultan Hamengkubuwana VIII ini adalah foto asli bukan repro. Pada foto bagian kanan bawah terdapat nama studio foto dan nama kota masih ejaan lama "Corn Weers - Djocja" (yang membuat foto tersebut).

Saya mendapatkan foto ini sekitar 6 (enam) tahun lalu tepatnya bulan July 2013. Untuk logo lambang Keraton era HB VIII yang terbuat dari bahan perunggu ini saya mendapatkannya sekitar 1 (satu) tahun lalu. Foto memiliki ukuran cukup besar sekitar 26cm x 20cm, dengan frame ukuran sekitar 59cm x 53cm. Khusus untuk frame foto adalah bukan bawaan awal (buatan baru).

Berdasarkan informasi sejarah untuk logo Keraton Jogja yang sekarang ini dirancang pada era HB VIII.

Lambang Kraton Yogyakarta semula bentuk mahkota kerajaan Belanda banyak mempengaruhi unsur hias dalam kraton Yogyakarta dan Surakarta, termasuk diantaranya untuk mahkota raja. Sampai pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana VII lambang mahkota tersebut masih banyak diterapkan sebagai unsur hias.

Selain unsur mahkota yang tampak sangat presisi, munculnya binatang singa di kiri dan kanan mahkota menunjukkan getaran estetik yang bernuansa Eropa sangatlah kental. Jika dibandingkan dengan lambang Kerajaan Belanda, lambang yang dipakai Sri Sultan Hamengku Buwana VII memiliki kemiripan. Pada Sri Sultan Hamengku Buwono VII bentuk itupun masih tertera di atas bingkai gambar yang berukuran besar. Huruf dan angka dibingkai sulur-sulur indah, di atasnya terdapat mahkota lambang kerajaan. 

Namun pada masa pemerintahan Sri Hamengku Buwono VIII pada tahun 1921 ada keinginan untuk membuat lambang keraton berlandaskan cita rasa estetik dengan mengangkat seni budaya sendiri. Lambang ini bentuknya berbeda dengan sebelumnya, tidak terpengaruh oleh bentuk mahkota gaya seni Eropa. Dalam hal ini Sri Sultan Hamengkubuwono VIII dapat disebut sebagai pencipta lambang kraton yang saat ini dipakai.



Beliau melibatkan seorang seniman serba bisa,berjiwa sosial dan pemberani, sekaligus menantu Sri Sultan Hamenku Buwono VII:K.R.T Yosodipuro. Adapun makna yang tersurat pada lambang kraton: 1. Identitas raja yang bertahta digambarkan dengan jumlah helai bulu sayap disisi kanan dan kiri seperti lambang Sri Sultan Hamengkubuwono VIII digambarkan dengan jumlah bulu 8 helai, 2. Lambang kebesaran kraton digambarkan dalam bentuk mahkota dibawah huruf Ha Ba, 3. Lambang Ha Ba yang dibuat oleh Sri Sultan Hamengkubuwono VIII dibuat saling menumpang sehingga menghasilkan keserasian bentuk dua huruf menjadi kesatuan yang artistik. Ha Ba sendiri berarti Hamengku Buwana.

Dalam lambang kraton ini Ha Ba disertai unsur bunga teratai di atas Pa murda. Bunga teratai itu melambangkan kiblat papat kelima pancer dilengkapi dengan sepasang tangkai daun yang disebut lajer, yang menggambarkan harapan yang tulus bagi pelestarian Kraton dan Sultan, agar berlangsung terus menerus dan penuh wibawa.

Lambang kraton ini terdapat di beberapa tempat diantaranya di sisi luar kuncungan Bangsal Manis bagian timur dan pintu gerbang Donopertopo, tepatnya di atas jam besar di sebelah barat masjid Tamanan perempatan Rotowijayan sebelum masuk Keben (Ngejaman). Selain digunakan sebagai unsur hias beberapa banguanan, lambang keprajan ini juga dipakai sebagai kop surat dan medali penghargaan.

Secara keseluruhan lambang kraton ini merupakan sengkalan memet yang berbunyi Kaluwihaning-Yaksa-Salira-Aji yang bermakna tahun 1851: Kaluwihaning berbentuk ukiran daun kluwih bermakna 1, yaksa atau kemamang bermakna 5, salira berupa binatang melata atau ular naga bermakna 8, aji lambang raja Ha Ba didalam lingkaran bola dunia bermakna 1.Artinya 1851 merupakan tahun saka atau 1921 masehi.

Sumber informasi : https://blog.ullensentalu.com/lambang-kraton-yogyakarta/



Sri Sultan Hamengkubuwana VIII (lahir di Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, 3 Maret1880 – meninggal di Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat, 22 Oktober 1939 pada umur 59 tahun) adalah salah seorang raja di Kesultanan Yogyakarta tahun 1921-1939. Ia bernama asli Gusti Raden Mas Sujadi. Dinobatkan menjadi Sultan Yogyakarta tanggal 8 Februari 1921.

Pada masa Hamengkubuwono VIII, Kesultanan Yogyakarta mempunyai banyak dana yang dipakai untuk berbagai kegiatan termasuk membiayai sekolah-sekolah kesultanan. Putra-putra Hamengkubuwono VIII banyak disekolahkan hingga perguruan tinggi, banyak diantaranya di Belanda. Salah satunya adalah GRM Dorojatun, yang kelak bertahta dengan gelar Hamengkubuwono IX, yang bersekolah di Universitas Leiden.

Pada masa pemerintahannya, ia banyak mengadakan rehabilitasi bangunan kompleks keraton Yogyakarta. Salah satunya adalah Bangsal Pagelaran yang terletak di paling depan sendiri (berada tepat di selatan Alun-alun utara Yogyakarta). Bangunan lainnya yang direhabilitasi adalah tratag Siti Hinggil, Gerbang Donopratopo, dan Masjid Gedhe. Ia juga merupakan salah satu orang pertama dari kalangan politikus papan atas Kota Yogyakarta yang mendukung perjuangan Kh. Ahmad Dahlan dalam pembentukan Muhammadiyah sebagai bentuk loyalitasnya pada Islam.

Ia meninggal pada tanggal 22 Oktober 1939 di kereta api di daerah Wates, Kulon Progo dalam perjalanan pulang dari Jakarta untuk menjemput GRM Dorojatun dari negeri Belanda. GRM Dorojatun mendadak dipanggil pulang yang belum sempat menyelesaikan sekolahnya. Di Batavia, Sultan menyerahkan keris Kyai Ageng Joko Piturun kepada GRM Dorojatun sebagai tanda suksesi kerajaan, sekaligus sebagai isyarat bahwa GRM Dorojatun-lah yang kelak akan menggantikan sebagai Sultan.

Foto dibawah ini adalah Prajurit Istana yang dikenal dengan nama sebutan Wirabraja. Foto diambil pada tanggal 5 September 1933 dimasa kepemerintahan Sri Sultan Hamangkubuwana VIII. Pada bagian kanan bawah foto terdapat nama fotografer "R. B. PR. Kaswardjo". Saya mendapatkan foto ini dari seorang Jendral Angkatan Darat (Bintang Satu) keturunan Mangkunegara di Jakarta sekitar 2 (dua) tahun lalu.





Untuk mengumpulkan foto HB VIII dan Prajurit Kraton dimasanya, serta mencari logo lambang Kraton era HB VIII ini cukup memakan waktu yang panjang. Sebuah hasil kerja yang tidak sia-sia, dimana dokumentasi ini sarat dengan bukti sejarah Kraton Jogja dan sangat layak untuk menjadi barang koleksi. Bagi saya barang ini tidak saja memiliki nilai sebagai barang untuk dikoleksi tetapi layak juga sebagai barang untuk disimpan dalam museum.

Keterangan : Privat Collection

Foto Cina Peranakan Baba - Nyonya Era Dynasti Ching Circa Last 1800









Foto Cina Peranakan Baba - Nyonya Era Dynasti Ching Circa Last 1800

Foto ini adalah asli bukan repro dan dibuat pada masa kolonial Belanda. Pada foto tersebut tampak seorang pria dan wanita keturunan etnis Cina yang mengenakan busana khas Eropa dan Tionghoa. Ukuran foto cukup besar yaitu 30,5cm x 24cm (belum termasuk ukuran mat board), dan ukuran frame 52,5cm x 44cm.

Frame foto adalah asli barang tua, dimana masih tampak warna gincu dan warna prada awal yang masih tersisa. Frame terbuat dari bahan kayu, dan sambungan pada masing-masing sudut frame masih menggunakan pasak tembus layaknya barang peranakan pada umumnya. Foto ini diperkirakan diabadikan sekitar tahun 1800an akhir era Dynasti Ching.

Saya tertarik menyimpan foto ini karena menggambarkan busana yang sudah menjadi ciri khas budaya Cina peranakan pada masa kolonial Belanda. Pada masa itu etnis Cina, Eropa dan Jawa berbaur sehingga sangat mempengaruhi cara berpakaian yang dikenakan. Seperti jas, long dress, dan kebaya. Dimana busana tersebut pada masa itu jarang dikenakan oleh etnis Cina di daerah asalnya.

Daya tarik lainnya pada foto terlihat kaki si wanita yang berukuran kecil, dimana pada masa itu memiliki kepercayaan wanita yang memiliki ukuran kaki kecil adalah keturunan bangsawan dan terlihat cantik.

Banyak versi dari catatan sejarah mengenai hal ini. Cerita yang paling terkenal adalah kisah tentang seorang penari cantik di zaman dinasti Shang. Kakinya sangat kecil dan runcing. Gerakannya pun elegan dan indah. Kaisar saat itu memuji bahwa kakinya seperti bunga teratai (lotus). Sejak saat itu, banyak wanita mulai mencari cara agar kakinya mirip sang penari.


 Banyak sekali puisi-puisi yang menyebut tentang lotus feet (kaki teratai) ini. Sehingga semakin mendorong banyak wanita untuk mengubah kakinya. Karena wanita ini kebanyakan sudah dewasa, akhirnya anak-anak merekalah yang menjadi ‘korban’ uji coba. Kebiasaan yang dilakukan wanita bangsawan ini berlangsung terus menerus selama ratusan tahun. Bahkan hingga hampir 100% wanita bangsawan di zaman dahulu yang melakukan praktek ini pada kakinya.
Di China zaman dahulu, para wanita bangsawan sangat bangga memiliki kaki seperti ini. Sepatu untuk kaki ini juga memiliki hiasan yang indah-indah seperti sutra, benang emas, mutiara, dan lain-lain. Kaum lelaki pun sangat suka memilih wanita yang memiliki lotus feet. Bagi kaum miskin, biasanya kaum perempuannya hanya bekerja di ladang atau menjadi pembantu rumah tangga, jadi tidak memiliki lotus feet.

Tetapi biasanya ada anak perempuan pilihan dari dalam keluarga yang di didik dengan pendidikan tinggi, untuk menjadi seorang ‘lady’. Biasanya ia amat cantik, dan diasuh secara khusus agar kelak menikah dengan bangsawan atau keluarga raja. Nah, biasanya gadis pilihan ini memiliki lotus feet.

 Sumber informasi : https://www.boombastis.com/trend-cantik-china/40534


Keterangan : Privat Collection - Sold to Collectors (Thanks Bpk. NS - Smg)

Rabu, 03 Juli 2019

Foto Cina Peranakan Baba - Nyonya Circa 1923








Foto Cina Peranakan Baba - Nyonya Circa 1923

Foto ini adalah asli bukan repro dan dibuat pada masa kolonial Belanda yang berlokasi di studio foto "KINGSON & Co" daerah DEPOK SEMARANG. Pada foto tersebut tampak seorang pria dan wanita keturunan etnis Cina yang mengenakan busana khas Tionghoa dan Kebaya Peranakan. Ukuran foto 20,5cm x 15,5cm (belum termasuk ukuran mat board), dan ukuran frame 32cm x 29cm.

Pada mat board terdapat tulisan kanji cina pada bagian samping kiri, kanan dan bagian atas. Untuk masing - masing memiliki arti pada samping kiri adalah nama dan usia wanita pada foto tersebut, yaitu Jiu Im Nio usia 53 tahun dan pada samping kanan adalah nama dan usia pria pada foto tersebut, yaitu Wang She Xing usia 63 tahun dan untuk bagian atas memiliki arti foto dibuat tahun 1923.

Saya tertarik menyimpan foto ini sebagai koleksi, karena pada foto terdapat nama studio dan nama kota. Disamping itu juga pada foto menggambarkan busana yang sudah menjadi ciri budaya Cina peranakan pada masa kolonial Belanda.

Pada masa itu etnis Cina, Eropa dan Jawa berbaur sehingga sangat mempengaruhi cara berpakaian yang dikenakan. Seperti jas, long dress, dan kebaya. Dimana busana tersebut pada masa itu jarang dikenakan oleh etnis Cina di daerah asalnya.

Keterangan : Privat Collection - Sold to Collectors (Thanks Bpk. NS - Smg)

Selasa, 02 Juli 2019

Buku Katalog Koin Belanda


















Buku Katalog Koin Belanda - Terbit Tahun 1977

Buku katalog koin ini berisikan beberapa koin Belanda yang beredar dari tahun 1795 s/d 1977. Jumlah halaman lengkap berisi 100 hal. Kondisi buku masih baik, masih layak pakai dan koleksi.

Menarik untuk menjadi barang koleksi bagi kolektor koin untuk mengetahui jenis dan jumlah masing2 koin yang beredar.

Keterangan : SOLD OUT